Mataram, kesultanan / Jawa Tengah

ꦤꦒꦫꦶꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦩꦠꦫꦩ꧀

()

.

Lambang kesultanan Mataram

.
Kesultanan Nagari Mataram, 1586 – 1755.
Didirikan Pangeran Senopati.
Kesultanan Mataram (kadang disebut Kesultanan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram Baru untuk membedakan dengan Kerajaan Mataram Kuno yang bercorak Hindu) adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.

The Sultanate of Mataram: 1586 – 1755. Founded by Pangeran Senopati. This kingdom was led by descendents of the dynasty of Ki Ageng Sela and Ki Ageng Hatiahan, which claimed to be a branch of nobility descended from the Majapahit rulers.
For english, click here

Provinsi Jawa Tengah

Provinsi Jawa Tengah.


Foto kesultanan Mataram

* Foto kesultanan Mataram: link
* Foto keraton Kota Gede: link
* Foto keraton Karta: link
* Foto keraton Plered: link
* Foto keraton Kartasura: link
* Foto pemakaman di Kota Gede: link
* Foto pemakaman di Imogiri: link


Video kesultanan Mataram

– Video sejarah kesultanan Mataram, 1576-2020: link
– Daftar penguasa Monarki kesultanan Jawa Mataram, 1556 – 2020: link


Garis kerajaan-kerajaan di Jawa: link


Foto sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa

* Foto sultan dan raja, yang masih ada di Jawa: link
* Foto keraton di Jawa, yang masih ada: link
* Foto Batavia (Jakarta) masa dulu: link
* Foto Jawa masa dulu: link
* Penyerbuan Batavia oleh Sultan Agung, 1628/1628: link
* Foto perang Diponegoro, 1825: link
* Foto situs kuno di Jawa: link


Video sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa

* Untuk video-video sejarah Jawa, klik di sini


KESULTANAN MATARAM, 1586-1755

Sejarah kesultanan Mataram

Sumber: https://travel.kompas.com/read

Pemberontakan di kerajaan Pajang dan berdirinya kerajaan Mataram

Tanah Mataram dan Pati merupakan hadiah yang diberikan oleh Raja Hadiwijaya dari kerajaan Pajang pada siapa saja yang berhasil menumpas Arya Panangsang pada tahun 1549. Ki Ageng Pemanahan berhasil membunuh Arya Panangsang dan mendapat tanah di daerah Kota Gede, Yogyakarta. Sedangkan, Pati diberikan pada Ki Ageng Penjawi. Berbeda dengan Ki Ageng Penjawi yang diangkat sebagai penguasa Pati saat itu juga, Ki Ageng Pemanahan baru menerima hadiahnya pada 1575. Penguasa Mataram ini diketahui sebagai orang yang sebenarnya berhasil mengalahkan Arya Panangsang dengan bantuan Sunan Kalijaga.

Hadiwijaya yang saat itu masih menguasai tahta kerajaan Pajang mendengar ramalan dari Sunan Prapen tentang kemunculan pemimpin besar di Tanah Mataram. Hal ini yang diduga menjadi penyebab tanah tersebut baru diserahkan pada Ki Ageng setelah bertahun-tahun lamanya.
Pada tahun 1582 perang antara Mataram dan Pajang pecah setelah terjadi konflik antara Sutawijaya dan pemimpin Pajang. Konflik tersebut dipicu lantaran Tumenggung Mayang, adik ipar Sutawijaya, dibuang ke Semarang oleh Raja Hadiwijaya. Perang ini berhasil dimenangkan oleh pihak Mataram, meski saat itu jumlah pasukan kerajaan Pajang jauh lebih banyak. Kemenangan Mataram ini berhasil menggoyahkan Pajang dan menjadi cikal-bakal kekuasaan Mataram yang semakin kuat.

Masa kejayaan Mataram

Meninggalnya Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir pada tahun 1582, membuat kota-kota pesisir pada masa tersebut terus memperkuat diri. Pangeran Benowo, putra dari Sultan Hadiwijaya ternyata tak mampu menangani pergerakan kota-kota tersebut. Sang Pangeran kemudian menyerahkan kekuasaan kerajaan Pajang pada Sutawijaya. Dengan penyerahan kekuasan tersebut, kerajaan Pajang menjadi daerah kekuasaan dari kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang berkuasa dari tahun 1613 sampai 1645. Ia merupakan raja ketiga setelah Panembahan Sedo Krapyak. Letak geografis kerajaan yang berada di pedalaman membuat Mataram menjadi kerajaan agraris. Pertanian yang menjadi sumber pokok ekonomi masyarakat berkembang pesat karena didukung tanah yang subur. Pada masa kejayaannya, Mataram berhasil menjadi pengekspor utama beras.
Tahun 1628 dan 1629 Sultan Agung serang Batavia, pusat VOC belanda (lihat: Batavia / Jakarta).
Meski mengandalkan pertanian sebagai pusat ekonomi, tak sedikit masyarakat yang melakukan aktivitas perdagangan laut. Dua kegiatan ekonomi yang berkembang pesat itu membuat kerajaan Mataram cukup diperhitungkan di dunia politik Nusantara. Kehidupan sosial masyarakat pun berkembang dengan sangat baik. Bahkan pada masa kebesarannya, Mataram berhasil mengembangkan Budaya Kejawen. Budaya ini merupakan bentuk akulturasai dari kebudayaan Hindu-Buddha dan ajaran agama Islam.

Runtuhnya kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram berhasil meraih perkembangan yang pesat di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Sayangnya, setelah sang sultan meninggal dunia, kerajaan Mataram mengalami kemunduran. Sunan Amangkurat I yang menggantikan sang sultan ternyata memimpin kerajaan dengan zalim.
Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I banyak melakukan pembunuhan. Kezaliman sang Sunan memicu permusuhan Putra Mahkota (Amangkurat II) dengan ayahnya sendiri. Sayangnya, Amangkurat II ternyata juga memiliki perangai yang buruk. Dalam masa kepemimpinannya, Amangkurat II kerap dibenci oleh pemuka Kerajaan Mataram dan rakyat. Puncak dari konflik dalam internal kerajaan ini menyebabkan pecahnya Perang Trunajaya pada tahun 1677.

Sri Susuhunan Amangkurat I, memerintah 1646 – 1677

Amangkurat II meminta bantuan pada VOC yang saat itu mulai menjajah Indonesia. Dengan pertolongan yang diperolehnya dari VOC, Amangkurat II berhasil memenangkan pertempuran tersebut. Namun, VOC ternyata menuntut ganti rugi dan imbalan atas pertolongan tersebut. Karena tuntutan ganti rugi tersebut, kerajaan Mataram mengalami kemunduran ekonomi. Hubungan Amangkurat II dan VOC yang tidak baik membuat pihak Belanda menentang penobatan Amangkurat III setelah sang sunan meninggal. Mereka justru menunjuk Pangeran Puger untuk menggantikan Amangkurat II untuk memimpin kerajaan Mataram. Perebutan tahta antara Amangkurat III dengan Pangeran Puger menimbulkan perang saudara pada tahun 1704-1708. Perang ini berhasil dimenangkan oleh Pangeran Puger yang kemudian mendapatkan tahta dengan gelar Paku Buwono.

Setelah meninggalnya Paku Buwono, kerajaan Mataram semakin terguncang karena berbagai aksi pemberontakan. Perebutan kekuasaan antara Paku Buwono II dan Raden Mas Said menimbulkan peristiwa besar yang disebut Geger Patjina. Sejumlah konflik antara pihak kerajaan, VOC, dan pemberontak akhirnya memunculkan Perjanjian Giyanti pada 1755. Perjanjian ini menyatakan bahwa Mataram dibagi menjadi 2 bagian. Bagian barat, yang meliputi wilayah Yogyakarta, diberikan pada Pangeran Mangkubumi. Sang pangeran pun naik tahta dengan menyandang gelar Hamengku Buwono I. Mangkubumi kemudian membangun sebuah keraton di wilayah tersebut.

Sementara itu, bagian timur yang meliputi wilayah Surakarta dan sekitarnya diberikan kepada Sri Susuhan Paku Buwono III. Kemudian melalui Perjanjian Salatiga yang dibuat pada 1757, Sunan Paku Buwono III menyerahkan wilayah Karanganyar dan Wonogiri kepada sepupunya, Raden Mas Said. Raden Mas Said kemudian menobatkan dirinya sebagai Mangkunegoro I dan memimpin Puro Mangkunegaran sampai 1795.

Sultan Amangkurat II dalam sebuah lukisan, memerintah 1677 – ‎1703


Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755: bentuknya kesultanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta

Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Setelah perjanjian damai ditandatangani, Pangeran Mangkubumi kemudian ikut menyerang kelompok pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Kelompok Pangeran Sambernyawa kemudian juga akan menandatangi perjanjian damai dalam perjanjian selanjutnya.

Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755.
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua, yaitu wilayah di sebelah timur Sungai Opak (yang melintasi daerah Prambanan sekarang) yang dikuasai oleh Sunan Pakubuwana III, dan berkedudukan di Surakarta. Wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang sekaligus diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang menetap di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

* 1755: Perjanjian Giyanti. Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua yaitu kesultanan Ngayogyakarta dan kesultanan Kasuhunan Surakarta.
* 1757: Perjanjian Salatiga: kesultanan Mataram dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu kesultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.
* 1813: Kesultanan Yogyakarta dipecah lagi menjadi dua yaitu kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
* Jadi, sejak 1813 ada 2 Kesultanan dan 2 Kadipaten di Jawa Tengah dan masih ada sampai sekarang:
– Kesultanan Yogyakarta,
– Kesultanan Surakarta,
– Kadipaten Mangkunegaran,
– Kadipaten Paku Alaman.

– Sumber dan sejarah lengkap: https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mataram#Terpecahnya_Mataram

Cakupan terluas Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).

Jawa 1700


Sultan Agung, masa kekuasaan: 1613-1645

Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw. “kertå”, maka muncul sebutan pula “Mataram Karta”). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Tahun 1628 dan 1629 Sultan Agung serang Batavia, pusat VOC belanda (lihat: Batavia / Jakarta).
Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya, bergelar Amangkurat (Amangkurat I).

Sultan Agung, memerintah 1613 – 1645


Daftar Raja kesultanan Mataram

1587-1601: Sutawijaya (Panembahan Senopati)
1601-1613:  Hanyakrawati
1613: Adipati Martapura, bertakhta hanya satu hari
1613-1645: Sultan Agung
1646-1677: Amangkurat I

1677-1703: Hamangkurat II / Hamangkurat Amral
1703-1704: Hamangkurat III / Hamangkurat Mas
1704-1719: Pakubuwana I / Pangeran Puger
1719-1726: Hamangkurat IV / Hamangkurat Jawi, leluhur raja Surakarta dan Yogyakarta
1726-1742: Pakubuwana II

1742-1743: Hamangkurat V / Hamangkurat Kuning
1743-1749: Pakubuwana II
1749-1788: Pakubuwana III

 ————————

Dari kerajaan Majapahit ke kesultanan Mataram


Sejarah keraton-keraton kesultanan Mataram

Kesultanan Mataram berdiri 1586 – 1755.

Ibu kota dan keraton kesultanan Mataram berpindah beberapa kali:
* 1587–1613: Keraton Kotagede.
Keraton ini merupakan kediaman raja sekaligus pusat wilayah kesultanan Mataram sekitar tahun 1588-1613 pada masa pemerintahan Panembahan Senapati, yang kemudian dikenal sebagai raja pertama dari kesultanan Mataram.
– Untuk lengkap dan foto: link

* 1613-1645: Keraton Karta.
Keraton Karta didirikan oleh Sultan Agung pada tahun 1613, kemudian pada 1618 baru digunakan hingga 1645.
– Untuk lengkap dan foto: link

* 1646-1680: Keraton Plered.
Keraton ini dibangun raja Amangkurat I dari Mataram. Amangkurat pindah dari kraton lama di Karta. Pekerjaan pembangunan di Plered dikatakan tidak berhenti sampai tahun 1666.
Kraton Plered ditinggalkan tahun 1680 oleh putera Amangkurat I, Amangkurat II, yang pindah ke Kartasura.
– Untuk lengkap dan foto: link

* 1680-1755: Keraton Kartasura.
Keraton di Kartasura dibangun oleh Sunan Amangkurat II atau Sunan Amangkurat Amral (1677-1703) dengan suatu pertimbangan bahwa Keraton Mataram Pleret sudah pernah diduduki musuh (Trunajaya).
– Untuk lengkap dan foto: link

1755: Perjanjian Giyanti: kesultanan Mataram dibagi dua.

Wilayah kesultanan Mataram dibagi dua melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755:
– Kesultanan Surakarta.
Wilayah di sebelah timur Kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram, Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Keraton Surakarta,
– Kesultanan Yogyakarta.
Wilayah di sebelah diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Keraton Yogyakarta.

Keraton kesultanan Surakarta: link
Keraton kesultanan Yogyakarta: link


Pemakaman raja kerajaan Islam Mataram di Kota Gede

Makam raja di Yogyakarta tak hanya di Imogiri, kab. Bantul tapi terdapat juga makam raja-raja Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta. Meski tak sebesar kompleks pemakaman di Imogiri, namun Makam Raja Mataram Islam di Kotagede banyak dikunjungi peziarah.
Memasuki gerbang kompleks makam ini peziarah akan menemukan bangunan Masjid Gedhe Mataram yang dibangun oleh Raja Mataram keempat Sultan Agung pada tahun 1640. Masjid Gedhe Mataram ini merupakan masjid tertua di Yogyakarta yang dibangun bergotong royong dengan masyarakat sekitar yang umumnya masih memeluk agama Hindu dan Budha. Di sisi selatan masjid terdapat gerbang masuk ke kompleks makam raja Mataram. Makam raja ini menjadi bukti kerajaan Mataram di Kotagede yang hingga kini lokasi pastinya belum ditemukan.
Di kompleks ini terdapat sejumlah makam raja antara lain:
– pendiri desa Mataram Ki Ageng Pamanahan,
– raja Mataram Islam pertama Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati, – Raja Pajang,
– sultan Hadiwijaya atau terkenal dengan nama Joko Tingkir,
– panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan,
– raja Mataram kedua Panembahan Hanyakrawati.

* Foto foto Pemakaman di Kota Gede: link

Salah-satu gerbang masuk menuju Pasarean Mataram



Pemakaman sultan kesultanan Mataram di Imogiri

Permakaman Imogiri, Pasarean Imogiri, atau Pajimatan Girirejo Imogiri merupakan kompleks permakaman yang berlokasi di Desa Girirejo dan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Permakaman ini dianggap suci dan kramat karena yang dimakamkan disini merupakan raja-raja dan keluarga raja dari Kesultanan Mataram. Makam Imogiri dibangun pada tahun 1632 oleh Sultan Mataram III Prabu Hanyokrokusumo yang merupakan keturunan dari Panembahan Senopati Raja Mataram I. Makam ini terletak di atas perbukitan yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan Sewu.
Di sini dimakamkan:
Sultan Agung,
Sri Ratu Batang,
Hamangkurat Amral, dan
Hamangkurat Mas.

Ada wilayah makam raja Surakarta Hadiningrat dan wilayah makam raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Wilayah makam raja Surakarta Hadiningrat dibagi menjadi empat hastana dan di sini dimakamkan raja-raja dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Wilayah makam raja Ngayogyakarta Hadiningrat dibagi menjadi 3 hastana dan disini dimakamkan raja-raja dari Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.

* Lebih lengkap: klik di sini
* Foto foto pemakaman di Imogiri: klik di sini


Peta kuno Jawa

Klik di sini untuk peta kuno Jawa tahun 1598, 1612, 1614, 1659, 1660, 1706, 1800-an, awal abad ke-18, 1840.

Jawa, awal abad ke-18

1234


Sumber kesultanan Mataram

– Sejarah kesultanan Mataram: https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mataram
Sejarah kesultanan Mataram: https://www.cnnindonesia.com/
Sejarah kesultanan Mataram: https://www.kompas.com/
Daftar Raja Mataram: Wiki
– 6 Raja kesultanan Mataram: http://www.satujam.com/kerajaan-mataram/



Naskah Perjanjian Giyanti 1755

Naskah Perjanjian Giyanti 1755

———————————–
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti, 1755


Leave a comment

Leave a comment

Blog at WordPress.com.