– Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/, p. 83
Pada mulanya wilayah kerajaan Sekar berada di daerah yang terletak di jalan masuk Teluk Sekar, yang disebut Kabituwar. Orang pertama dari keturunan raja yang diangkat pada jabatan raja, juga menerima gelar raja Kabituwar dari Ternate. Raja Kabituwar pertama yang menerima gelar raja adalah Pandai alias Congan. Pada saat raja Pandai menerima gelar raja, Kokas merupakan pemukiman para pedagang yang berasal dari luar Papua.
Pemukiman para pedagang asing itu dinamakan Sekar. Pada tahun 1896 seorang bernama Mner dari soa Beraweri diangkat oleh Sultan Tidore menjadi raja kapitan negeri Sekar (kampung orang asing). Pada awal bagian surat keputusan pengangkatan Mner sebagai raja kapitan negeri Sekar disebutkan:” Mendengar nasihat raja Misool dan raja Rumbati, Mner diangkat sebagai raja kapitan negeri Sekar”. Artinya, Mner tidak diletakkan di bawah kekuasaan raja Kabituwar. Kemudian dia pindah ke Sekar dan mendirikan kampong Sekar, sebuah kampung mandiri. Setelah itu, pengganti Pandai yakni Pipi, saat pelantikannya menerima gelar raja Sekar.Gelar raja kapitan Sekar.
Setelah meninggalnya Kubis, putra raja kapitan pertama (Mner) tidak lagi diberikan. Sebelum Pandai diangkat menjadi raja Kabituwar, orang menyebut dirinya raja Komisi secara tidak resmi yakni dalam komisi raja Rumbati. Ayahnya Weker alias Paduri juga telah menyandang gelar ini. Ketika Pandai meninggal, tidak seorangpun yang dipertimbangkan untuk menggantikannya.
Pandai tidak mempunyai saudara.Satu-satunya putra, Abdulrachman masih anak-anak. Sehubungan dengan ini, penjabat raja Sekar diangkat, rajamuda Wertuwar bernama Lakate, putra tiri Pandai. Pandai untuk kedua kalinya menikah dengan seorang wanita, bernama Badika, yang sebelumnya telah menikah dengan Inisuka, rajamuda Wertuwar dan ayah Lakate. Selama Pandai dan kemudian selama penampilannya sebagai penjabat raja Lakate, seseorang bernama Pipi alias Saban melaksanakan tugas-tugas raja muda Sekar tetapi tanpa diangkat secara resmi.
Pipi adalah putra Dimin, yang menjadi “anak emas” dari ayah Pandai. Sehubungan dengan ini, keturunan Dimin menurut adat tidak pernah bisa menjadi raja. Namun, pada tahun 1911 dari pihak pemerintah, diduga karena kurangnya orang yang lebih cocok, Pipi diangkat menjadi raja Sekar. Putrinya sebelumnya menikah dengan penjabat raja Lakate. Sehubungan dengan usia Pipi yang sudah lanjut, putranya Singgaray diangkat menjadi raja muda Sekar, dengan tujuan bisa membantunya dalam menjalankan kekuasaan.
Setelah kematian Pipi, Singgaray (Machmud Singgaray Rumagesan) menjadi raja. Daerah Pik-pik termasuk wilayah pengaruh raja Sekar. Sebelum raja Kabituwar (Sekar) diangkat, mungkin daerah Pikpik telah diletakkan di bawah kekuasaan raja Atiati. Sekitar tahun 1885 raja Atiati mengangkat seorang kepala daerah di Pikpik, dengan tujuan mendapatkan bantuannya dalam perang yang mengancam antara Rumbati di satu pihak dan Atiati serta Fatagar di pihak lain. Kepala ini bernama Tatare, mendapatkan gelar raja. Tetapi dia tidak pernah dikukuhkan dalam jabatan itu oleh pemerintah.
Putranya Kauat setelah kematian Tatare menerima pengangkatan resmi. Melalui pengaruh pemerintah, semua hubungan antara Atiati dan Pikpik dihilangkan dan daerah Pikpik diletakkan di bawah kekuasaan Sekar. Sehubungan dengan kenyataan itu terbukti bahwa Kauat memainkan peran yang gelap dalam tujuan untuk menguasai pusat pemerintahan Kokas. Ada beberapa usaha di kalangan para kepala daerah Pikpik untuk menjadi kerajaan sendiri dan tidak bersedia ditempatkan di bawah kekuasaan raja Sekar. Keinginan para kepala daerah Pikpik itu tidak didukung pemerintah kolonial.
Berdasarkan pertimbangan praktis, daerah ini diharapkan masuk wilayah Sekar (lingkup pengaruh),meskipun posisi raja Sekar sebagai kepala daerah Pikpik masih diperdebatkan atas dasar adat. Hanya di atas kertas raja Sekar menegakkan kekuasaan atas kampung Sisir, yang para kepala dan penduduknya tidak mau mengakui kekuasaan raja Sekar. Demikian juga Kampung Ugar tidak mengakui kekuasaan raja Sekar atas mereka. Untuk menegakkan kekuasaan raja atas kedua kampung tersebut, pemerintah kolonial mendukung kekuasaan raja Sekar sepenuhnya.
Sebagai raja dari Kerajaan Sekar, pada tahun 1915 Machmud Rumagesan ditetapkan sebagai raja oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Meskipun pengangkatan Rumagesan sebagai raja disahkan oleh pemerintah kolonial Belanda, dia seringkali justru memberontak terhadap pemerintah kolonial. Pemberontakan Machmud Rumagesan terhadap Belanda berawal dari penolakan Kontrolir van den Terwijk terhadap saran Rumagesan tentang pembayaran gaji penduduknya yang bekerja di Maskapai Colijn yang beroperasi di Kokas.
Pemberontakan Rumagesan terhadap pemerintah kolonial telah mengantarkannya ke penjara. Penjara ternyata tidak mampu mematikan semangat perlawanan Machmud Rumagesan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Machmud Rumagesan berjuang untuk menyatukan Irian barat dengan Indonesia. Kegigihannya untuk menyatukan Irian Barat dengan Indonesia dibuktikan dengan tindakannya pada 1 Maret 1946, yang memerintahkan penduduknya untuk menurunkan bendera Belanda secara serentak di Kokas. Perintah Rumagesan kepada rakyatnya untuk menurunkan bendera Belanda merupakan bukti keberaniannya untuk menentang penjajah. Peristiwa penurunan bendera Belanda itu menyebabkan pertempuran penduduk Kokas dengan tentara Belanda. Tentara Belanda berhasil mematahkan serangan Rumagesan dan penduduk Kokas. Rumagesan berhasil ditangkap dan di penjarakan di Sorong (Doom), kemudian di pindahkan ke Manokwari, Jayapura dan Makassar.