Penjelasan Pelantikan Raja Bima

Sumber: https://www.facebook.com/WawanRbcComunity/posts/1650000681977691

Pada umumnya pelantikan seorang raja cenderung sama. Jauh sebelum upacara dilaksanakan, perlu diadakan persiapan-persiapan untuk menyungsong upacara tertinggi itu semeriah mungkin Dana dan daya dikerahkan agar upacara dapat berjalan lancar. Seluruh lapisan masyarakat dikerhakan pula agar turut memeriahkan dan menyaksikan jalannya upacara tegasnya semua potensi dimobilisasi.
Putera mahkota, calon raja diperlakukan laksana dewa yang tengah menjelma di bumi, disanjung dan dihormati. Protokoler penuh diterapkan. Kekurangan dan kesalahan sekalipun harus dihindari sedapat mungkin, karena hal ituberarti tidak menghormati raja.
Di kerajaan Bima, upacara semacam itu agak berlainan. Walaupun nantinya raja itu disanjung dan disembah, tetapi pada walnya harus melalui suatu gladi bersih sekali gus sebagai persiapan dan penempaan mental untuk menghadapi suka duka dalam menjalankan tugas kelak. Calon raja harus merasakan dan menghayati lebih dini, bila dalam pemerintahannya nanti dijalankan dengan adil atau dengan cara yang lalim. Calon raja dicaci maki dengan kata-kata yang kasar disertai ancaman hukuman badan bila ia kelak memerintah dengan lalim atau tidak adil. Sebaliknya akan memperoleh ganjaran serta penghormatan sesuai dengan martabatnya bila ia memerintah dengan jujur dan adil
Seluruh lapisan masyarakat menyaksikan upacara aneh dan unik itu. Kehadiran rakyat di situ bermakna bahwa rakyat harus pandai dan tanggap atas pemerintahan raja. Pemerintah kerajaan wajib melayani kepentingan mereka dan dengan demikian rakyat berkewajiban pula untuk mematuhi semua perintah dan peraturan yang sesuai dengan ketentuan Hadat.
“Raja Adil raja disembah
Raja Lalim raja disanggah”
Menurut konvensi bahwa ncuhi dara mempunyai kewajiban untuk melantik raja/sultan. Kedudukan raja/sultan baru sah apabila sudah dilantik oleh Hadat. Pelantikan dengan cara lain dianggap tidak sah dan tidak diakui rakyat. Pernah terjadi pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan untuk mengangkat raja/sultan, ditolak oleh pemerintah Kerajaan Bima karena tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukkan. Pemerintah Hindia Belanda dapat mengeluarkan surat keputusan yang bersifat mengukuhkan untuk kepentingan yakni untuk menempatkannya dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda.
Pelantikan Raja/sultan dilakukan dalam dua fase yaitu :
Upacara Di Luar Istana (Bima : Tuha)
Putera mahkota (Jena Teke) dengan berpakaian seperti rakyat biasa dengan bersarung tanpa mengenakan baju diantarkan ke tempat Upacara yang telah disiapkan yang disebut AMBA NAE (Pasar Besar). Di tengah Amba Nae itu terdapat seonggok tanah seperti busut jantan yang besar bererumputan yang dikenal dengan nama Dana Ma babuju. Rakyat berdatangan dari seluruh pelosok negeri hadir dan mengelilingi Amba Nae tersebut. Pada posisi berhadapan dengan ongggokan tanah, semua pejabat Hadat duduk bersimpuh mulai dari perangkat tertinggi sampai kepangkat terendah yang keseluruhannya disebut majelis Hadat Kerajaan Bima (Bima : Sara Dana Mbojo)
Setelah mustaid semuanya upacara pelantkkan dimulai dengan urutan acara sebagai berikut :
1. Ncuhi dara menempati tempat yang telah ditentukan yakni di atas onggokan tanah, disusul oleh putera mahkota. Keduanya tanpa mengenakkan baju. Putera mahkota duuk dalam pangkuan Ncuih Dara menghadap kerah para anggota Majelis Hadat yang duduk bersimpuh di tanah
2. Diawali oleh 3 orang Ncuhi lainnya dengan senjata terhunus naik berdiri berhadapan dengan putera mahkota. Para ncuhi berbicara yang diringi gerak mengancqam sesuai dengan kata-kata yang diucapkan. Kalimat dengan kata-kata kasar penuh celaan dan caci maki yang diikuti gerak ancaman senjata ke seluruh anggota tubuh putera mahkota. Antara lain yang diucapkan : apabila raja bertindak lalim, senjata yang dipegang para ncuhi akan merobek tubuhnya, kalau keris yang dipegang , maka kerislah yang ditusuk-tusukkan ke tubuhnya. Bila kapak yang dipegang kapak itu yang akan membelah kepalnya dan bila pantungan yang dipegang , patungan itulah yang akan meremukkan tulangnya. Ganti berganti ketiga orang ncuhi melakukan hal yang sama. Putera mahkota duduk dengan tenang dipangkuan Ncuih Dara mendengar dan menyaksikan atraksi-atraksi yang berlalu dihadapannya. Rakyat yang hadr mengikuti jalan upacara dengan hidmat.
3. Berikut giliran majelis hadat. Tureli Nggampo atau Bicara mengawali dan kemudian disusul oleh pejabat-pejabat lainnya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para ncuhi. Giliran terkahir tiga orang Gelarang Kepala mencaci-maki dengan gerakan mengancam habis-habisan
4. Setelah selesai anggota majelis hadat, kini giliran putera mahkota menanggapi kejadian tadi, melakukan apologi, putera mahkota bangkit berdiri menghadap ke arah anggota majelis dan berpidato dan sekaligus memberikan maklumat kepada seluruh rakyat se antero kerajaan yang isinya berjanji akan melaksanakan pemerintahan yang adil untuk semua orang guna mensejahterkan rakyat dan negeri. Janji dan maklumat tersebut tereknal dalam ungkapan kalimat : Katohompara wekiku sura dou mori na labo dana yang maksudnya tidak peduli untuk diriku, asalakan rakyat dan dihidupkan negeri. Ucapan dan maklumat calon raja tersebut disambut gembira. Rakyat gembira menerima ikrar calon raja dan siap sedia menjunjung tinggi semua perintah dengan penuh kepatuhan.
5. Ikrar Calon Raja tersebut mencerminkan pengabdiannyakepada rakyat dan negeri, para ncuhi dan anggota mejelis memberikan tanggapan diawalai para ncuhi naik dan duduk bersimpuah kemudian sujud dihadapan calon raja menyampaikan nyanyian dan kidung yangberisikan permohonan ampun di bawah duli atas kesalahan dan kelancangan yang mereka telah lakukan tadi. Dan berjanji akan menjunjung tinggi titah di atas pundaknya, patuh, taat dan setia kepada calon raja sampai titik darah terakhir sekalipun. Yang dalam bahasa Bima diungkapkan dengan kalimat : belanja nawa, ncii kai ba sarumbu, mpoka kai peke, ro lingi kai ba nawa. Kemudian disusul oleh tureli nggampo atau Biacara dengan ucapan “ada itu rumaku” yang maksudnya menyatakan diri sebagai hamba tuanku raja. Untuk itu siap pula mati demi raja dan kerajaan.
Ikrar tersebut bukan saja untuk raja tetapi diharuskan juga menggema dalam kehidupan para pejabat dan petugas kerajaan beserta rakyat. Oleh sebab itu setiap individu berkewajiban untuk melaksanakan menurut kedudukan masing-masing. Penjabaran operasional ikrar tersebut dituangkan dalam kalimat ungkapan : Ka Sabuaku Ra Renta Labo rawi Di Kandadi atau dengan kata-kata Ngahi rawi Pahu yang maknanya satunya kata dengan yang berwujud kenyataan yang dapat diukur.
Menjadi keyakinan masyarkaat bima bahwa ungkapan atau syair dan pantun yang bernilai filosofis itu disebut ngahi ma ra ndadi labo dana atau ngahi ma ntoi”. Yang mengandung makna sebagai wasiat leluhur. Karenanya wasiat dimaksud dijadikan pedoman pegangan yang menyatu dengan dirinya dengan kata lain mendarah daging. Nilainya relevan saja sepanjang masa, sehingga patut untuk direnungkan lebih mendalam oleh generasi masa kini untuk dilestarikan dalam bentuk sikap dan perbuatan.
Dalam kehidupan sehari hari hal tersebut : dijadikan tolak ukur bagi setiap individu/pribadi, baik ia sebagai penguasa, para petugas melayani kepentingan umum maupun masyarakat umum. Bagi masyarakat umum akan menyadarkan dirinya sudah sejauh manan ia mematuhi aturan dan ketentuan yang berlaku dan memenuhi kewajibannya sebagai warga. Dan bagi petugas sejauh mana ia melakukan fungsinya dalam mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya. Kesadaran bersama dari atas dan dari bawah akan memancarkan cahaya harapan keselamatan dan kesejahteraan bersama lahir dan batin. Harapan tersebut akan tercermin dari kesungguhan berbuat dan ketegasan bertindak tanpa pilih kasih. Dengan demikian kedua belah pihak akan mampu mawas diri dan memberikan dorongan dalam ruang lingkup “maja labo dahu”, tumbuhnya rasa malu dan takwa sebagai realisasi dari iman yang bersemi dalam hati setiap individu masyarakat.
Maja labo dahu, suatu ungkapan filosofis yang mengandung makna yang luas. Bila ungkapan tersebut diartikan secara harfiah “Malu dan takut” akan memberikan arti dan dampak kejiwaan yang tidak diinginkan oleh ungkapan itu sendiri. Pengertian dan makna semacam itu hanya akan mengerdilkan pikiran, mematikan inisiatif serta mengerinkan cita-cita untuk melangkah ke depan meraih harapan yang di idamkan.
Ungkapan Filosofis majalabo dahu yang sma artinya dengan bahasa agama Al hayaa’u wal takwa minal iman bahwa rasa malu dan takut kepada Allah itu adlah bagian dari iman. Ungkapan maja labo dahu sejalan dengan napas agama yang diaplikasikan dengan cermat berbicara, terawasi dalam perbuatan serta bersemangat tinggi untuk mewujudkan rencana dan program. Bersikap konsekuen, konsisten, dan bertanggung jawab.
Sehubung dengan pengertian itu maka tiba saatnya bagi kita semua untuk meluruskan pengertian istilah “ Io – wati (ya – tidak)” yang diartikan oleh sementara orang secara harfiah ya – tidak, pengertan seperti itu timbul karena ketidaktahuannya tentang tatakrama berbahasa bima. Kesalahan tersebut berakibat fatal terhadap citra orang bima sebagai kelompok masyarakat yang tidak bisa dipercaya atau plinplan. Menurut tatakrama berbahasa bima bahwa istilah io-wati mempunyai pengertian dan kedudukan yang berbeda. Kata “io” berkedudukan dan berfungsi untuk menandakan bahwa apa yang diucapakan oelh lawan bicara didengar dengan baik dan dipahami, sma artinya dengan kata inggih dalam bahasa sasak atau bahasa jawa. Sedangkan kata wati merupakan jawaban terhadap maslah yang dibicarakan. Dalam sturuktur bahasa bima kata “i-o” selalu dipergunakan dalam menjawab sebagai tanda hormat kepada lawan berbicara utamanya terhadap orang tua.
Selanjutnya, sesuai ikrar setia para pejabat hadat yang terakhir rakyat menyambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai dengan gegap gempita. Dalam periode-periode berikutnya setelah mengenal meriam digantikan dengan tembakan meriam. Kemudian raja meninggalkan tempat upacara atau Amba NaE dan diarak menuju Istana.

UPACAR DALAM ISTANA (Bima : Lanti)
Penyematan Atribut Kerajaan
Upacara pelantikan di luar istana yang telah diselenggarakan itu merupakan inti upacara pelantikan raja menurut cara yang asli. Kemudian berkembang sesuai dengan kemajuan, maka diadakan acara tambahan seperti penyelamatan atribut raja. Jadi upacara dalam istana pada dasarnya ialah pengukuhan kedudukan raja yang baru dilantik.
Raja dengan pakaian kebesaran hadir ditengah-tengah Majelis Hadat. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota Samparaja disiapkan dipinggang raja oleh pejabat hadat yang tertinggi pejabat yang mengenakan keris ini biasanya dialah yang akan menjabat selau Bicara dalam masa pemerintahan raja tersebut. Payung kerajaan yang terbuat darilontar berwarna kuning emas dan berjumpai benang emas pula, dipayungkan kepada raja. Daun lontar untuk membuat atung kerajaan itu tidak diambil sembarangan pohon lontar. Ada pohon lontar khususnya yang disebut “taa paju” yang tumbuh di Desa Rabangodu.

Menerima Peryataan Tanda Setia
Raja yang duduk di atas singgasana kebesaran menerima peryataan setia para anggota Majelis Hadat. Para pejabat dengan pakaian kebesaran penuh menurut jenjang kepangkatan masing-masing duduk bersimpuh menundukkan kepala dihadapan raja. Pakaian kebesaran berwarna-warni dengan topi berjumpai benang emas membuat semaraknya upacara dalam istana. Masing-masing penjabat menyisipkan keris atau pedang yang bersarung emas dan bertahta permata dan berlian.
Diawali oleh bicara atau tureli nggampo yang bangun dan dihadapnya dengan sikap sempurna. Dengan air muka serius ia mencabut kerisnya dan mengacung-acungkan ke atas, ke depan dan ke samping (bima:sere), sembari berkidung setia kepada sang raja, dengan senjata dan wewenangnya siap menegakkn perintah, dan bersedia mati pula bila ada yang mencoba merendahkan atau tidak memperdulikan perintah raja.acara ini dilakukan oleh semua pejabat Hadat secara berurut.

Pesta Syukuran
Atrraksi kesenian, keramaian rakyat serta pesta pesta pora diadakan selama tujuh hari tujuh malam, sebagai acara penutup dari serangkaian upacara pelantikan raja. Rakyat disediakan makanan dan minuman selama turut berpesta di halaman istana sebagai tanda gembira dan bersyukur. Hadiah dibagi-bagikan kepada mereka.
Menilik tata cara pelantikkan tesebut segera terlihat perbedaan dengan upacara serupapada umumnya. Sepanjang diketahui upacara seperti itu hanya dijumpai di Bima, karenanya menjadi spesifik sifatnya. Makna dari acara spesifik itu ialah
1. Sebelum seorang raja/sultan memangku jabatannya, ia sudah harus merasakan dan menghayati betapa tinggi kemuliaan yang dipersembahkan bila nanti raja menjalankan kewajibannya dengan jujur dan adil. Dan sebaliknya, betapa pedihnya penghinaan dan sengsara lahir batin akan dideritakan bila memerintah dengan lalim dan tidak adil
2. Para pejabat Hadat sebagai bagian dari rakyat dengan berani tanpa ragu-ragu menyalurkan aspirasi rakyat dihadapan rakyat
Raja Adil raja disembah, raja lalim raja disanggah
3. Rakyat yang menghadiri upacara menjadi saksi bahwa para pejabat Hadat telah menyampaikan aspirasi mereka dan sekaligus mendengarkan langsung jawaban raja

Dalam menjalankan fungsinya, Majelis Hdat Kerajaan Bima terbagi dua yakni sebagai Badan Eksekutif dan Badan Legeslatif. Badan Eksekutif di pimpin oleh Tureli Nggampo atau Bicara sedangkan Badan Legislatif di pimpin oleh Ncuhi Atau Bumi Luma. Kedua jenis pemerintahan itu terpapdu dalam diri raja. Landasan yang kukuh sudah diletakkan yakti Katahoku wekiku, sura dou mori na labo dana, dengan beroorientasi kepada :
Kidi di donggo na ma ese
sera na ma kalau, so ma paja
di eda kasabua, ntanda ka sama
ada na sa dana mbojo
Dari makna pelantikan raja yang unik tersebut dapat di tarik kesimpulan yaitu :
1. Masyarakat Bima sejak telah mengenal dan mengamalkan asas musyawarah untuk mufakat dan gotong royong
2. Baik raja maupun rakyat sama-sama memperbahrui hak dan kewajiban masing-masing secara terbuka. Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah
3. Dalam pribadi raja senantiasa melekat fungsi sebagai haworo ninu, selaku pengayom masyarkat kapan dan di mana saja
4. Semua Pihak terikat pada konvensi Katahoku wekiku, sua dou mori na labo dana yang diamalkan dengan kasabua ra renta labo rawi di kandadi dalam pengawasan maja labo dahu.

———————————————————————————————————————-

Blog at WordPress.com.

%d bloggers like this: