Sumber: http://melayanibersama.blogspot.com/2016/06/sistem-pemerintahan-suku-sangihe-zaman.html
——————————————————-
Umum
Sangihe sudah mengenal sistim pemerintahan dalam kehidupan bermasyarakat dengan bentuk pemerintahan kerajaan. Sistim pemerintahan kerajaan yang dianut oleh kerajaan-kerajaan di Sangihe merupakan bawaan dari sistim pemerintahan kesultanan yang ada di Philiphina. Kerajaan mula-mula di bangun atas dasar kemonarkian atau wangsa, monarki artinya dipimpim oleh satu orang. Kepemimpinan kerajaan dilakukan oleh satu keluarga yang menurun keanak cucu, berdasarkan garis keturunan laki-laki.
Tampungang Lawo, muncullah para kulano dan Bahaning. Sejak saat itu kedudukan raja diambil alih oleh pemberani, dalam bahasa sangihe di sebut Kulano atau Bahaning beo’ e. (di kepulauan Maluku, Kulano adalah raja).
Jika dilihat dari kata “Tampungang Lawo” secara luas berarti tempat dimana terhimpun banyak orang, menunjukkan sebuah demokratisasi telah dibangun sejak kerajaan tua. Meskipun kekuasaan raja-raja berdasarkan wangsa tetapi harus menghadirkan banyak orang dalam setiap keputusan. Perubahan sistim sosial kekerabatan masyarakat Sangihe mengalami beberapa perubahan mulai dari sistim patrilineal sejak Gumansalangi sampai ke Makaampo, sistim bilateral sejak awal kerajaan Tabukan sampai masa kolonial belanda awal tahun 1800. Tetapi ada satu masa bersamaan dengan pengaruh kuasa ampuang – ampuang perempuan, Sangihe pernah menganut sistim kekerabatan matrilineal yang mengikuti garis keturunan Ibu. Meskipun sistim kekerabatan pernah berubah-ubah tetapi tanggung jawab setiap keluarga batih ada pada gaghurang (orang tua) dimana suami ataupun isteri bertanggungjawab bersama dalam keluarga. Diperkirakan sistim kekerabatan dengan mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) mulai berlaku sejak ada pengaruh eropa di sangihe.
Penggunaan marga atau fam mulai berlaku sejak diberlakukannya hukum atas tanah. Banyak tanah di Sangihe yang tidak bertuan. Hal ini dipengaruh olah sistim perbudakan dan kekuasaan raja yang mutlak dimasa lalu sampai kemudian muncul tanah-tanah family. (di Minahasa dikenal dengan tanah Kalakeran). Masyarakat Sangihe hanya mengenal tanah family berdasarkan marga keturunan, tanah family kerajaan dan tanah – tanah bebas (tidak bertuan).
Tingkatan sosial masyarakat Sangihe menurut D. Brillman adalah:
* Bangsawan, terdiri dari raja-raja, jogugu dan keluarganya.
* Warga-warga yang bebas
* Budak yang dimerdekakan
* Para budak.
Keturunan raja termasuk dalam golongan Hokowalumpulo, keturunan bangsawan termasuk dalam golongan Hokolimampulo, rakyat biasa termasuk dalam golongan Hokotalumpulo, budak digolongkan sebagai allangga.
Struktur pemerintahan kerajaan Sangihe adalah:
* Tingkatan paling tinggi raja yang disebut datu.
* Tingkatan kedua adalah bobato pimpinan daerah dibawah kerajaan atau setingkat dengan adipati. (adipati adalah jabatan setingkat bupati dalam tradisi jawa).
* Tingakatan ke tiga Opo Lao atau Kapiten Laut (ensiklopedia Indonesia)
Struktur pemerintahan kerajaan di Sangihe pada masa VOC, mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah.
Raja yang disebut datu
Bobato (termasuk presidenti raja /pejabat raja sementara)
Jogugu
Presidensi Jogugu (bila diperlukan)
Kapiten laut (laksamana)
Mayore (Mayore gaguwa atau Mayore labo)
Hukum Mayore
Sadaha
Kapita
Sangaji
Kumelaha
Sawehi (dukun)
Mihinu ( Tukang palakat)
Kekuasaan raja – raja di Sangihe mengalami beberapa bentuk pemerintahan yaitu:
* pemerintahan raja-raja asli Sangihe berdasarkan wangsa/ keturunan yang terwaris dalam keluarga,
* pemerintahan raja-raja Sangihe berdasarkan pengaruh Spanyol dan Portugis,
* pemerintahan raja-raja Sangihe berdasarkan pengaruh VOC dan pemerintahan colonial hindia belanda,
* pemerintahan raja-raja Sangihe berdasarkan pengangkatan penguasa jepang.
Sebelum pengistilahan raja digunakan dalam sistim pemerintahan kerajaan Sangihe, sudah didahului penggunaan kata datu’ untuk kedudukan raja. Pengistilahan ini hadir bersamaan waktunya dengan kerajaan mula-mula di wilayah kepulauan Sangihe yang disebut Kedatuan. Wilayah kepulauan Sangihe mulai dari pulau-pulau di sekitar Kepulauan Saranggani Philiphina, kepulauan Talaud, kepulauan Sangihe, kepulauan Siau dan Taghulandang, dan pulau-pulau yang ada disekitar jazirah Minahasa. Kerajaan Sangihe melewati masa pemerintahan panjang mulai dari kekuasaan dinasty Gumansalangi yang berakhir pada masa VOC.
Masa kedatuan tua
Kerajaan yang mula- mula berdiri di wilayah teritorial Sangihe dikelompokan dalam masa kedatuan, karena pada saat itu istilah Datu digunakan untuk pimpinan tertinggi kerajaan. Kedatuan tua yang berdiri mula – mula adalah sebagai berikut.
Kedatuan Bowontehu.
Bowontehu diambil dari bahasa sangihe Bowongkehu yang secara harafiah berarti diatas atau dipuncak hutan. Wilayah kerajaan ini adalah salah satu dari 10 lanskap (kerajaan kecil) yang diserahkan oleh sultan Ternate kepada VOC bersama dengan kerajaan Tubuguo (Tabukan) tahun 1609. (Sejarah Minahasa, Kontrak 10 Januari 1679, hal.61). Berdasarkan sastera lisan Sangihe, kerajaan ini didirikan oleh datu Mokodoludugh yang oleh orang Mongondow disebut Mokoduluduth pada abad ke – 10. Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan tertua yang menjadi bagian dari wilayah territorial Sangihe. Mokodoludugh memperisteri Baunia dan memperanakan Lokongbanua, Yayukbongkai, Uringsangiang dan Sinangiang. Lokongbanua kemudian menjadi Raja kerajaan Siau pertama. Bowontehu pada masa kekuasaan raja Pasibori (sultan dari Ternate), ditaklukan oleh raja dari kerajaan Bolaang bernama Damopolii (kinalang). (sejarah kerajaan Mongondow,Tabloid Media Edukasi, Nov.2009)
Kedatuan Tampungang Lawo
Didirikan pada kurun waktu tahun 1300 (dijelaskan dalam sejarah kerajaan Tampungan Lawo).
Kedatuan Tampungan Lawo sudah melegenda karena diceritakan secara turun-temurun oleh orang Sangihe sebagai sastera lisan, baik itu melalui sasalamate, papantung, tatinggung ataupun lagu-lagu masamper. Tampungang Lawo merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Sangihe, meskipun belum ditemukan bukti berupa benda sejarah yang berhubungan dengan kerajaan Tampungang Lawo.
Kedatuan Tampungang Lawo pertama, abad ke-13
Konon, Kedatuan Tampungang Lawo didirikan oleh Gumansalangi pada tahun 1300 sampai 1400 yang berpusat di Manuwo, kini disebut kampung Salurang. Diperkirakan masa Gumansalangi dimulai akhir tahun 1200 sampai awal tahun 1300. Pada masa ini dimulailah sistim pemerintahan monarkih kerajaan pertama Sangihe. Gumansalangi yang memperisteri Sangiang Konda Wulaeng memperanakan Melintangnusa dan Melikunusa. (D.B. Adrian “Renungan kisah Sangihe Talaud” dalam Toponimi, cerita rakyat dan sejarah dari kawasan Nusa Utara, Diknas Tahuna).
Wilayah kekuasaan kerajaan Tampungang Lawo membentang dari Mindanao sampai ke Bolaang Mongondow. Panglima perang kerajaan Tampungan Lawo adalah Melintangnusa yang memperisteri Sangiang Hiabe puteri Abubakar (seorang pemberani dari Tugis, Philliphina). Melikunusa berlayar ke wilayah Mongondow dan mempersunting Menong Sangiang.
Gumansalangi mewariskan kerajaan pada anaknya Melintangnusa tahun 1350. Menjelang akhir hidup Melintangnusa berlayar ke Mindanao dan meninggal disana. Sejak meninggalnya Melintangnusa, kerajan diserahkan kepada anaknya Bulegalangi dan Pahawonseke. Sejak saat itu pusat kerajaan terbagi dua:
* Kerajaan Tampungang Lawo dengan pusat kerajaan di Sahabe
* Kerajaan Tampungang Lawo dengan pusat kerajaan di Salurang.
Kekuasaan kerajaan yang berpusat di Salurang diserahkan kepada anaknya bernama Bulegalangi. Dalam menjalankan pemerintaha Bulegalangi dibantu oleh anaknya bernama Matandatu. Saudara laki-laki Bulegalangi bernama Pahawongseke pindah ke Sahabe (Tabukan Utara sekarang), dan membentuk pemerintahan baru. Pemerintahan dibantu oleh anaknya Pangatorehe. Setelah raja Bulegalangi meninggal, puterinya bernama Sitti Bai dipersunting oleh Balanaung sedangkan Puteri Aholiba dipersunting oleh Mengkangbanua dan berpindah tempat tinggal ke Tariang tebe (sekarang kampung Tariang Lama).
Kedatuan Tampungan Lawo di Sahabe (1400-1530)
Kerajaan Tampungan Lawo di Sahabe didirikan oleh Kulano Pahawongseke (putra dari Melintangnusa). Pusat kerajaan adalah Limu (dekat kedang atau sahabe behu). Kerajaan Tampungan Lawo di sahabe kemudian dikenal dengan nama kerajaan Sahabe, juga dinamakan kerajaan Limu. Wilayah kekuasaannya dari tanjung Salimahe sampai ke tanjung Lehe, termasuk pulau nusa, bukide, dan buang (sekarang Tabukan tengah). Pahawongseke diganti oleh puteranya Pangalorelu. Pangalorelu diganti oleh Mamatanusa. Mamatanusa kemudian menjadi raja terakhir di kerajaan Sahabe. Mamatanusa memperisteri Neneukonda dan memperanakan dua orang puteri bernama Somposehiwu dan Timbangsehiwu. (Dari sumber cerita lisan lain, Raja terakhir kerajaan Sahabe adalah Pontowuisang, yang memperisteri Belisehiwu. Pontowuisang adalah raja Siau yang menyuruh Hengkengunaung untuk membunuh Makaampo).
Kedatuan Tampungang Lawo di Salurang (1400 – 1500 an)
Kerajaan ini didirikan oleh Kulano Bulegalangi (putra dari Melintangnusa), yang berpusat di Salurang. Wilayah kekuasan kerajaan Tampungang Lawo di Salurang mulai dari tanjung Lehe ke Pungu Watu, termasuk pulau-pulau Marore, Kawio, Kemboleng, Memanu, Matutuang, dan Dumarehe.
Pemerintahan Bulegalangi dibantu oleh anaknya bernama Matandatu yang juga sebagai panglima perang. Setelah wafatnya Bulegalangi, kekuasaan raja diganti oleh puteranya Matandatu .Pemerintahan Matandatu dibantu oleh anak-anaknya, Makalupa, Ansiga, Tangkaliwutang dan saudara perempuan mereka Talongkati. Talongkati adalah anak yang paling berani sehingga mendapat gelar Bawu Mahaeng.
Salah satu anak dari Matandatu bernama Tangkuliwutang kemudian memperanakan Makaampo Wewengehe. Makaampo lahir pada tahun 1510 di Rainis (Talaud) dari ayah bernama Tangkuliwutang dan ibu bernama Nabuisang (dari Talaud). Nabuisang adalah anak dari Saselabe (di Taghulandang) dengan isterinya Putri Din (perempuan dari bangsa jin). Makaampo dilahirkan kembar, dan kembarannya adalah seekor ular bernama Uri Makaampo. Isteri pertama Makaampo adalah Marinsai.
Setelah dewasa Makaampo memperisteri Marinsai orang Bowongkalumpang anak dari Bolinsangiang, Makaampo meninggalkan perempuan tersebut karena kedapatan berselingkuh dengan laki-laki lain. Seterusnya Makaampo memperisteri Rampeluseke seorang perempuan dari Salurang, kemudian memperisteri dua orang kakak beradik Somposehiwu dan Timbangsehiwu. Sejak memperisteri Somposehiwu dan Timbangsehiwu berakhir pula kerajaan Tampungan Lawo di Salurang.
Latar belakang meluasnya wilayah kerajan Tampungang Lawo di Salurang adalah sebagai berikut:
Makalupa (anak dari Matandatu) mengambil Kindi Sangiang sebagai isteri ketika Kindi Sangiang sedang melingkarkan kain sehabis mandi, itulah sebabnya tempat tersebut dinamakan Pendarehokang. Setelah memperisteri Kindi Sangiang anak dari Menentonau,(kulano di Kauhis) wilayah kekuasan Menentonau yang meliputi Lelapide sampai ke Pendarehokang diserahkan kepada anaknya Kindi Sangiang.
Ansiga (anak dari Matandatu ) memperisteri Gaupang (Raupang) anak dari Panglima perang Dagho bernama Ansaaralung. Kekuasaan Ansaaralung di dagho yang meliputi Toade Manandu sampai ke pulau-pulau Mahengelang diserahkan kepada anaknya Gaupang.
Wilayah dari Toade Manandu sampai ke Tanjung Lelapide termasuk Tamako diserahkan ke kerajaan Tampungang Lawo di Salurang atas isin dari Kelungsanda panglima perang Tamako. Isteri dari Kelungsanda adalah Taupangkonde. Taupangkonde adalah saudara kandung dari Gaupang (isteri dari Ansiga)
II Kedatuan Tampungan Lawo kedua
(lahirnya Kerajaan Tabukan besar yang disebut Rimpulaeng) .
Kedatuan Tampungang Lawo yang dulunya terpisah kemudian lenyap, dipersatukan lagi menjadi sebuah kedatuan besar. Kedatuan ini didirikan pada tahun 1530 oleh Makaampo Wewengehe yang berpusat di Limu atau sahabe Behu di daerah bekas pusat kedatuan Tampungan Lawo Sahabe.
Wilayah kekuasaan kedatuan Tampungan Lawo kedua meliputi Tanjung Salimahe ke Pendarehokang sampai ke pulau Marore, Mahengetang dan kepulauan Talaud. Pada masa pemerintahan Makaampo Wewengehe di Sahabe Behe, dia didampingi oleh permaisuri Sompo sehiwu. Sedangkan permaisuri Sompo Sehiwu tinggal di Salurang.
Makaampo Wewengehe dikenal sebagai raja perkasa, yang memerintah dengan kejam. Akibat kekejamannya itu dia dibunuh oleh seorang pemberani dari Tamako bernama Ambala yang bersekutu dengan panglima laut kerajaan Siau bernama Hengkeng u’ naung di pantai Batu keti’ pada tahun 1575. Leher Makaampo dipotong dan kepalanya di antar ke pehe – siau. Lalu kemudian di ambil oleh Ansiga dan Makalupa dan dikuburkan di Salurang. Makaampo adalah datu terakhir kedatuan Tampungang Lawo yang mendirikan dasar atas kerajaan Tampungang Lawo baru dengan nama Tabukan. Setelah Makaampo meninggal, kedudukan datu diganti oleh anaknya Wuateng Sembah. Sejak saat itu mulai dikenal kerajaan Tabukan yang berpusat di Salurang.
Kedatuan Mangsohowang
Wilayah kedatuan ini berada di kaki gunung awu, pulau sangihe. Kedatuan ini hilang akibat letusan gunung api Awu.
Kedatuan Karangetang
Kedudukan kedatuan ini berada di pulau Siau. Didirikan oleh pangeran Kedatuan Bowontehu bernama Lokongbanua. Lokongbanua adalah anak tertua dari Mokodaludugh yang lahir di gunung Lokon. Kekuasaan Lokongbanua atas kedatuan Karangetang berlaku pada tahun 1510 – 1540 (meninggal). Pusat pemerintahannya di Katutungang (sekarang bernama Paseng). Lokongbanua memperanakan Passuma dan Angkumang.
Masa sesudah kedatuan (masa awal hubungan Eropa dengan kepulauan Sangihe)
Pada masa ini semakain nyata keberadaan bangsa Eropa di daerah utara Nusantara. Kerajaan – kerajaan di Sangihe pada waktu itu mengalami berbagai situasi dan tekanan akibat perebutan wilayah kekuasaan oleh Kerajaan – kerajaan dari Eropa.
Portugis berhubungan dengan Sangihe sejak tahun 1563.
Tahun 1563, Raja Siau bernama Possuma dibaptis di Manado oleh Pater Diego de Magelhaes dari Portugis. Sejak saat itu terbukalah hubungan portugis dengan Kepl. Sangihe Talaud.
Spanyol menguasai Sangihe pada tahun 1565.
Hubungan Spanyol dengan Kepulauan Sangihe sudah dimulai tahun 1521. Gugusan kepulauan Philliphina yang bertetangga telah diduduki Spanyol tahun 1565, pada saat itu raja yang berkuasa di kerajaan Siau adalah Raja Jeronimo.
VOC
Berdiri tahun 1602 dan memulai kekuasaannya di Sangihe tahun 1677.
Pada tanggal 1 November 1677, Raja Amsterdam dari Ternate ( Kaitjil Sibori ) merebut benteng Spanyol “Sancta Rosa” di Siau dan menyerahkannya pada Gubernur Jenderal Robertus Paddbrugge atas nama VOC. Pada saat itu pula ditandatangani perjanjian antara VOC dengan Raja Siau Franciscus Xaverius Batahi. Perjanjian yang sama juga berlaku terhadap kerajaan Tabukan,Tahuna dan Kendahe dan Taghulandang.
Pembubaran VOC tanggal 31 Desember 1799. Sejak saat itu daerah kekuasaan VOC di ambil alih oleh Pemerintah Belanda, tetapi kekuasaan VOC atas Sangihe nanti berakhir tahun 1789.
Awal dimulainya pengaruh kekuasan pemerintahan hindia Belanda di kepulauan sangihe yaitu pada tahun 1821 dengan dikirimnya Zendeling J.C. Jungmichel dari Ambon oleh Pendeta Joseph Kam.
Dari penjelasan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sejak tahun 1563, kerajaan – kerajaan disangihe sudah berhubungan dengan Portugis, Spanyol dan VOC. Sejak tahun 1821 kekuasaan kerajaan di Sangihe mulai di pengaruhi oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1821, sistim pemerintahan kerajaan tidak lagi berdasarkan wangsa tetapi berdasarkan kehendak Pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa itu di wilayah teritorial Sangihe sudah ada keraajaan-kerajaan yang dipengaruhi oleh Eropa. Kerajaan – kerajaan tersebut adalah:
Periode Pertama
Kerajaan Manarou (Manado).
Manarou bukanlah Minahasa. (sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679). Manarou diambil dari kata bahasa sangihe Mararau, marau yang berarti jauh. Kerajaan ini berpusat di Pulau Menado Tua tepatnya di tempat yang bernama negeri (desa menado tua – I, sekarang). Kerajaan Manarou didirikan oleh Daloda Loloda Mokoagow pada kurun waktu tahun 1644-1674. Penduduk kerajaan ini adalah orang Sangihe (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit.) Menurut Catatan Robertus Padburgge,1867, Kerajaan ini hancur akibat perang berkepanjangan dengan Kerajaan Bolaang.
Kerajaan Kolongan.
Kerajaan ini menggantikan kedudukan kedatuan Mangsohoang. Diawal kedatangan Eropa, kerajaan ini diperintah oleh raja Pontoralage pada pertengahan tahun 1500.
Kerajaan Siau.
Diawal kedatangan Bangsa Eropa, Kerajaan ini dibawah kekuasaan Raja Passuma. Masa pemerintahan Pasumah tahun 1540-1575. Raja Passuma meninggal tahun 1587, dan diganti oleh anaknya Don Jeronimo (Pontowuisang / Betewiwihe)Tanggal 16 Agustus 1593, Don Jeronimo mengucapkan sumpah setia kepada pemerintah Spanyol di Manila melalui gubernur Spanyol Gomez Perez Dasmarinas. Don Jeronimo memperanakan Winsulangi. Tahun 1619, Raja Winsulangi dibaptis di Paseng dan menjadi Don Jeronimo Winsulangi. (D.Brillman,Zending di Kepl.Sangi dan Talaud). Don Jeronimo Winsulangi diganti oleh anaknya Batahi, 1642-1678. Pusat kerajaan dipindahkan dari Paseng ke Pehe.
Kerajaan Tabukan,
Raja yang memerintah kerajaan Tabukan dimasa awal kedatangan bangsa Eropa adalah raja Wuateng sembah (Pahawuateng). Kerajaan ini berpusat di Sahabe. Wuateng memperisteri Tasikoa, putri Ratu Lohoraung dari Taghulandang. Wuateng sembah diganti oleh anaknya Markus Vasco da Gama. (Gamang Banua). Raja ini memerintah disaat Spanyol masuk di Tabukan.
Periode ke dua
Kerajaan Tahuna
Kerajaan Tahuna dengan nama lain Malahasa, berpusat di bukide Tahuna. Kerajaan Tahuna didirikan oleh raja Tatehewoba (Ansawuwo) putra raja Pontoralage tahun 1580 – 1625. Tatehe memperisteri Doloweli anak dari Makaampo dengan isteri Timbangsehiwu. Tatehewoba diganti oleh anaknya Buntuang, lau diganti lagi oleh anaknya Don Marthin Tatandangnusa.
Kerajaan Kendahe
Kerajaan Kendahe dengan nama lain Malinggaheng, berpusat di Makiwulaeng. Raja pertama kerajaan Kendahe bernama Egaliwutang (Mehegalangi) putra dari Sultan Ahmad di Mindanao. Memerintah tahun 1600-1640. Egaliwutang diganti oleh anaknya Wuisan. Raja Wuisan pindah ke Minahasa sejak kembali dari Mindanao setelah mengetahui isterinya sudah kawin dengan orang lain. Keberadaannya di Minahasa tidak diketahui. Kedudukan raja Wuisan diganti oleh anaknya Syam Syach Alam.
Kerajaan Tagulandang
Kerajaan Taghulandang dengan nama lain Mandolokang, berpusat di Tulusan. Raja pertama kerajaan Taghulandang adalah seorang perempuan bernama Lohoraung. Masa pemerintahannya 1570-1609.
Kerajaan Manganitu
Kerajaan Manganitu dengan nama lain Maobungang, Kerajaan Manganitu didirikan oleh Tolosang (liung tolosang) dengan nama kerajaan Kauhis, pada tahun 1600. Kekuasaannya berlangsung sampai tahun 1645. Pemberian nama Maobungang diambil dari kisah seorang pemberani dari Barangkalang bernama Lumanu yang memiliki ilmu sakti dari asap rokok. Ilmu tersebut kemudian terwaris kepada Raja Manuel Hariraya Mokodompis (tanawata). Pusat kerajaan pertama terletak di Bowongtiwo (kampung Kauhis sekarang). Tolosang adalah anak dari Jogugu Naleng dari Manganitu dengan isterinya Kaeng (lekung) Patola. Kaeng patola adalah anak dari Kulano Makalupa dan Kindi Sangiang. Tolosang kemudian memperisteri Ahungsehiwu dan memperanakan Tompoliu dan Lembungsengsale. Tahun 1645 sampai 1670, Tompoliu menjadi raja atas kerajaan Manganitu dan memindahkan pusat kerajaan dari Bowongtiwo ke Tatahikang. Tompoliu memperisteri Lawewe dan memperanakan Bataha Santiago, Charles Diamanti, Sapelah, Apueng dan Gaghinggihe.
Sejak Tompoliu meninggal, kekuasaan raja di ganti oleh Bataha Santiagho. Santiago adalah raja Sangihe pertama yang menentang VOC dimasa akhir kekuasaan VOC. Sejak di bunuhnya Santiago oleh VOC, kekuasaan raja tidak lagi berdasarkan kemonarkian keluarga raja tetapi berdasarkan keinginan VOC dan berlangsung terus sampai masa Kolonialisme bahkan sampai pada masa pendudukan Jepang. Pada masa pemerintahan Willem Manuel Pandensolang Mokodompis, raja ini berkuasa atas tiga wilayah yaitu kerajaan Tahuna, Kerajaan Manganitu di Karatung soa dan Kerajaan Manganitu di Tamako. Hal ini terjadi karena pengaruh kekuasan Belanda.
Sistem Monarki kerajaan-kerajaan Sangihe berakhir
Sistem Monarki kerajaan-kerajaan Sangihe berakhir sejak dimulainya pemerintahan Kolonial Belanda. Kekuasaan belanda mulai menguat di Sangihe setelah beberapa Raja menandatangani perjanjian persahabatan (Lange Verklaring Contrac) mulai dari tahun 1677. Raja – raja yang tunduk adalah:
* Fransiscus Makaampo Juda – I Raja Tabukan,
* Don Marthin Tatandangnusa – raja Tahuna,
* Takaengetang (Djoutulung) – Raja Manganitu.
* Wuisan – Raja Kendahe,
* Philips Anthoni Aralungnusa – Raja Taghulandang,
* Don Jeronimo Winsulangi – Raja Siau.
Sejak saat itu pengangkatan raja dilakukan tidak lagi berdasarkan garis keturunan waris raja kepada anak laki-laki tertua tetapi diangkat berdasarkan kepentingan Belanda.