Kerajaan Bunut didirikan tahun 1815, dihapus pemerintah belanda pada tahun 1910.
Terletak di Kalimantan, di persimpangan muara Sungai Kapuas yang merupakan penghubung antara kecamatan-kecamatan, ibu kota, serta kabupaten di Kab. Kapuas Hulu, prov. Kalimantan Barat.
The kingdom of Bunut was established in 1815. It was abolished by the Dutch in 1910. Located in West Kalimantan, district of Kapuas Hulu.
For english, click here
Lokasi Kab. Kapuas Hulu
Kerajaan Nanga Bunut
* Foto kerajaan Nanga Bunut: link
Garis kerajaan-kerajaan di Kalimantan: link
Foto kerajaan-kerajaan di Kalimantan
* Foto sultan dan raja yang masih ada di Kalimantan: link
* Foto raja2 di Kalimantan dulu: link
* Foto istana kerajaan di Kalimantan: link
* Foto Kalimantan dulu: link
* Foto perang belanda di Kalimantan, abad ke-19: link
KERAJAAN NANGA BUNUT
Tentang raja / keturunan sekarang (2019)
Cucu Raja Bunut yang masih hidup. Lihat foto (2017) di bawah.
Sumber: Pasak Nanga Bunut, Facebook
dari Kiri:
1.Raden Syamsul
2.Raden Fauzi
3.Raden Hariani Susilawati
4.Raden Zaidatunisya
5.Raden Abdul Manan
6.Gusti Ismail Usman
7.Raden Henri Naib
Sejarah kerajaan Nanga Bunut
Kerajaan Bunut atau Nanga Bunut merupakan kerajaan yang pernah berdiri di muara Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Leluhurnyanya adalah Abang Riyang yang bergelar Kyai Riyang atau Kyai Patih Riyang bin Sumbung Batik, yang berasal dari Embaluh. Abang Riyang memiliki putra bernama Abang Turan, yang bergelar Kyai Pati Turan. Adapun putra Abang Turan inilah yang akhirnya mendirikan kerajaan Bunut pada 1821.
Sejarah berdirinya
Kerajaan Bunut dapat ditelusuri dari kisah Abang Turan, yang memiliki putra bernama Abang Barita (Panembahan Adi Paku Negara). Pada 1815, Abang Barita menikah dengan Dayang Patimah, putri dari Kyai Pati Anom Sunjung dari Selimbau. Pernikahan Abang Berita dengan Dayang Patimah dikaruniai tiga orang putri bernama Dayang Baiyah (Ratu Pati), Dayang Lumut (Ratu Panembahan Haji Hadijah) dan Dayang Ajar (Nyai Mas).
Dayang Lumut kelak menikah dengan Pangeran Muhammad Abbas Suryanegara, yang merupakan Raja Selimbau. Setelah beberapa lama tinggal di Selimbau, Abang Barita memohon kepada raja supaya diizinkan membuka pemukiman di Nanga Bunut untuk mengumpulkan kerabatnya.
Setelah diizinkan, Abang Barita berangkat untuk mendirikan pemukiman bersama pengikutnya di Nanga Bunut. Begitu sampai, ia dikaruniai putri lagi yang bernama Dayang Suntai. Di pemukiman baru tersebut, Abang Barita memperoleh gelar Pangeran Lawuk dan mendirikan kerajaan Bunut pada 1821.
Kerajaan Bunut terletak di wilayah Selimbau
Perkembangan kerajaan Bunut
Kerajaan Bunut pada awal berdirinya diwarnai dengan berbagai gejolak, salah satunya diakibatkan oleh perselisihan antara orang Dayak Batang Lupar dengan rakyat Bunut. Perselisihan yang berujung perang itu dapat diselesaikan dengan bantuan Raja Pangeran Muhammad Abbas Suryanegara dari Selimbau. Pada 1861, Abang Barita meninggal dan berpesan untuk dimakamkan di Selimbau.
Hal ini karena ia merasa berhutang budi kepada Selimbau, yang banyak membantu kerajaan Bunut. Selanjutnya, tampuk pimpinan Bunut dilanjutkan oleh menantu Abang Barita yang bernama Abang Jaya Surian. Hal ini dikarenakan kedua anak laki-laki Abang Barita yang bernama Abang Ijal dan Abang Ajan (Raden Suta Sura Diwangsa) masih belum cukup dewasa untuk memimpin kerajaan.
Setelah itu, terjadi konflik internal karena putra Abang Barita menuntut singgasana. Di sisi lain, cucu dari Abang Jaya Surian yang bernama Abang Tela, juga merasa berhak atas singgasana Bunut. Karena kejadian tersebut, disepakati bahwa Bunut akan dipimpin oleh dua orang raja, yaitu Abang Ajan atau Raden Sura Suta Diwangsa yang bergelar Panembahan Pakunegara dan Abang Tela yang bergelar Panembahan Surapati.
Makam Panembahan terakhir Bunut, Pangeran Ratu Adi Paku Negoro, memerintah 1885-1910
Keberadaan dua raja dalam kerajaan Bunut ternyata tidak membuat Raden Sura Suta Diwangsa puas. Ia pun mengadukan permasalahan ini kepada pemerintah kolonial Belanda, terutama Jenderal Van den Bosch, pada 1865. Pemerintah kolonial Belanda selanjutnya turun tangan dan menetapkan Raden Sura Suta Diwangsa sebagai raja Kerajaan Bunut dan Raden Prabu Anom Dulaga sebagai putra mahkotanya.
Ketetapan Belanda tersebut ditentang oleh Abang Tela dan Abang Tani Hasan yang merupakan putra lain dari Abang Jaya Surian atau Pangeran Adipati Mangku Negara. Tidak lama kemudian, Belanda berbalik mendukung Abang Tela dan Abang Tani Hasan sehingga Raden Sura Suta Diwangsa beserta putra mahkotanya tersingkir dari istana Bunut.
Pada 1865, Abang Tani Hasan resmi menjadi Raja Bunut dengan gelar Pangeran Adi Pakunegara. Di bawah Abang Tani, Kerajaan Bunut didasari oleh hukum Islam, karena agama Islam berkembang pesat. Namun, Abang Tani Hasan ditangkap dan diasingkan Belanda ke Batavia pada Juli 1910 karena dituduh melakukan kesalahan. Dengan ditangkapnya Abang Tani Hasan, riwayat kerajaan Bunut resmi berakhir.
* Sejarah lengkap kerajaan Bunut, klik di sini
Nr 2 dari kiri: Pangeran Tana dari kerajaan Bunut, Nr 3 dari kiri: Panembahan kerajaan Sintang. Foto 1930.
Daftar Raja
1) 1815-1855: Panembahan Adi
2) 1855-1858: Panembahan Mangkunegara I
3) 1858-1876: Panembahan Mangkunegara II
4) 1876-1884: Mangkunegara III
5) 1884-1909: Panembahan Adi Pakunegara
Nagara Bunut dibawah kuasa hindia belanda tahun 1909.
– Sumber: http://perjuanganislami.blogspot.nl/2014/01/kerajaan-bunut.html
Pangeran Ratu Adi Paku Negara Gusti Muhammad Hasan (Abang Tana) Raja Terakhir Bunut
Peta Kalimantan (Borneo) kuno
Untuk peta-peta Kalimantan kuno (1570, 1572, 1594, 1601, 1602, 1740, 1747, 1760, 1835), klik di sini.
Peta Kalimantan (Borneo) tahun 1601
Sumber kerajaan Nanga Bunut
– Sejarah kerajaan Bunut: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Nanga_Bunut
– Sejarah asal usul kerajaan Bunut: http://mabmonline.org/
– Sejarah kerajaan Bunut: https://www.kompas.com/stori/
– Daftar Raja: http://perjuanganislami.blogspot.co.id/
Facebook: Nanga Bunut di Facebook
Kopiah Raja Bunut
Peta kerajaan-kerajaan di Kalimantan barat dulu
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, tahun 1800
——————–
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan barat abad ke-19 dan awal abad ke-20