Bima, kesultanan / P. Sumbawa – Prov. Nusa Tenggara Barat

Lambang kesultanan Bima

Lambang kesultanan Bima
.

Kesultanan Bima: didirikan tahun 1640. Terletak di pulau Sumbawa, Kab. Bima, Prov. Nusa Tenggara Barat.
Kesultanan Bima Mbojo atau Kesultanan Bima adalah kerajaan yang terletak di Bima Nusa Tenggara Barat. Para ahli memperkirakan kerajaan Bima Hindu berdiri sejak abad ke-13 M, dengan raja pertamanya bergelar Sang Bima I.

The Sultanate of Bima: founded in 1640. Located on the island of Sumbawa, in the district of Bima.
For english, click here

Lokasi pulau Sumbawa

———————————
Lokasi Bima di Pulau Sumbawa


Foto kesultanan Bima

* Foto kesultanan Bima: link
* Foto Istana (Museum) Asi Mbojo, kesultanan Bima: link
* Foto penobatan sultan Bima ke-XVII (sept. 2016): link
* VideoTuha Ro Lanti” merupakan upacara adat Bima dalam rangka pelantikan Sultan Bima: link
* Video Istana kesultanan Bima: link
* Video Lawatan Raja Bima ke Kerajaan Sumbawa: link


Foto kerajaan-kerajaan di P. Sumbawa

* Foto raja-raja dulu di P. Sumbawa: link
* Foto raja-raja yang masih ada di P. Sumbawa: link
* Foto istana di P. Sumbawa: link

* Foto situs kuno di P. Sumbawa: link


* Video sejarah Sumbawa dan NTB, 40.000 SM – sekarang: link


* Garis kerajaan-kerajaan di Sumbawa: link


KESULTANAN BIMA

1 Tentang Raja
2 Sejarah kesultanan Bima
3 Tata pemerintahan kesultanan
4 Daftar Raja
5 Mahkota kesultanan Bima
6 Penjelasan pelantikan raja Bima
7 Nama nama gelar dan pangkat kesultanan Bima

8 Istana
9 Sejarah singkat kerajaan-kerajaan di P. Sumbawa
10 Peta kuno pulau Sumbawa

11 Sumber


1) Tentang sultan sekarang (2020)

18 sept. 2016
Muhammad Putera Ferryandi, dilantik sebagai Jena Teke atau Sultan Muda ke-XVII Kesultanan Bima. Putera pertama almarhum Sultan Bima ke-XVI, Ferry Zulkarnain.
* Foto penobatan Sultan Bima ke-XVII pada 18 sept. 2016: link

26 December 2013
Sultan of Bima ke-XVI, H. Ferry Zulkarnaen, wafat.

Sultan Muda ke-XVII, Muhammad Putera Ferryandi, dilantik 18 sept. 2016

——————-

Sultan Bima ke-XVI, H. Ferry Zulkarnaen, wafat 26 dec. 2013

Gelar hanya untuk Mayat

Ini di bawah ditulis oleh Fahru Rizki (Facebook)

Dalam tradisi kerajaan/ kesultanan Bima, pemberian gelar kebesaran para raja/sultan hanya diberikan ketika menjadi mayat.
Tidak seperti tradisi monarki lainnya, dimana gelar diberikan mulai dari bayi hingga menjadi putra mahkota.
Kenapa gelar Raja/Sultan hanya diberikan saat dia menjadi mayat? Karena semasa hidupnya menjadi pemimpin landasannya cuman satu “Hawo ra Ninu” sebagai pengayom dan pelindung rakyatnya.
Di hadapan rakyat dia bukanlah siapa-siapa (tanpa gelar) “tohompara Ndaiku, Sura dou labo dana” sebuah tanggung jawab besar untuk rakyat dan bangsa.
Gelar diberikan ketika dia sudah menjadi mayat sebagai sebuah penghargaan dan penghormatan bangsanya, karena dia wafat sebagai dirinya sendiri yg sudah lepas dari amanah rakyat dan bangsa.


2) Sejarah kesultanan Bima, didirikan tahun 1640

Awal Pendirian

Kerajaan Bima abad ke-14/ ke-15 adalah salah satu wilayah di bawah kekuasaan Majapahit.

Sejarah kesultanan Bima bermula dari 5 kelompok kecil yang masing-masingnya dipimpin oleh pemimpin yang disebut Ncuhi. Ncuhi ini masing-masing memegang kekuasaan atas 5 wilayah.

– Ncuhi Dara, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Tengah
– Ncuhi Parewa, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Selatan
– Ncuhi Padolo, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Barat
– Ncuhi Banggapupa, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Utara
– Ncuhi Dorowani, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Timur.

Ncuhi Dara berlaku sebagai pemimpin dari kelima Ncuhi ini. Menurut legenda,  kerajaan Bima bermula dari putra keempat dari Maharaja Pandu Dewata yang namanya terkenal dipulau Jawa memiliki 5 orang putra yaitu: 1) Darmawangsa, 2) Sang Bima, 3) Sang Arjuna, 4) Sang Kula, 5) Sang Dewa.
Kedatangan sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, Ia menjadi raja pertama yang memangku gelar Sangaji.

Kerajaan Bima, 1250 M

Sumbawa, 1250 M

Awal Kesultanan

Pada tahun 1540 Masehi, para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Demak datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh Sunan Prapen, tetapi tidak dilanjutkan setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari kesultanan Ternate yang diutus oleh Sultan Baabullah. Selanjutnya, penyebaran Islam di kerajaan Bima diteruskan oleh Sultan Alauddin pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari kesultanan Luwu, kerajaan Tallo dan kerajaan Bone. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi muslim pada tahun 1620. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat kerajaan Bima.

Wilayah Kekuasaan

Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai, dan pulau‑pulau kecil di Selat Alas. Wilayah kesultanan Bima berbatasan langsung dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah kesultanan Bima dibagi menjadi tiga distrik yaitu Belo, Bolo, dan Sape. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut galarang. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah Reo dan daerah Pota. Pemimpin masing-masing distrik bergelar naib yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para naib ini memimpin para galarang, dan kepala kampung.

Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur Hindia Belanda. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung Gunung Tambora pada tahun 1928.
Sejarah lengkap: https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bima

Sejarah kesultanan Bima dan wilayah Manggarai di Flores

Kawasan Manggarai (Barat Flores) pada masa lampau dikuasai oleh kerajaan Bima dari Sumbawa hingga pada awal tahun 1900.
Pada tahun 1700-an atau mungkin sebelumnya, di Manggarai telah ada suatu sistem pemerintahan dari tiga kelompok masyarakat yang cukup besar, yaitu Todo, Cibal dan Bajo.

Kesultanan Bima, 1900 M

Kesultanan Bima, 1900 M

Kawasan Manggarai kemudian diserahkan sebagai hadiah perkawinan dan Puteri Daeng Tamima mendirikan kerajaan Islam di Reo, pantai utara Manggarai. Sultan Musa Lani Alima dari Bima ternyata tidak setuju menjadikan Manggarai sebagai hadiah kepada kesultanan Makassar. Maka, pada tahun 1732 dibentuklah persekutuan dengan Bajo untuk menyerang Reo dari laut dan mengusir orang Makassar di Reo. Akan tetapi, serangan ini gagal sehingga disusun kekuatan baru dengan bantuan Todo dari arah selatan.
Setelah mengamankan kekuasaan di Manggarai, Bima menjadikan Reo sebagai pusat pemerintahan di Manggarai dengan mengangkat perwakilan Sultan Bima yang disebut Naib. Perwakilan Sultan Bima yang kedudukannya lebih rendah dari perwakilan di Reo juga ditempatkan di Labuan Bajo, Pota dan Bari. Di Manggarai, Kesultanan Bima mempelopori suatu sistem pemerintahan yang disebut kedaluan dan gelarang. Gelarang memiliki status dibawah Kedaluan.

Pada tahun 1925, melalui suatu surat keputusan dari Belanda, Manggarai menjadi suatu kerajaan dan diangkatlah orang Todo-Pongkor menjadi raja pertama yaitu Raja Bagung dari Pongkor.

1930 YM Dewa Masmawa Sultan Muhammad Djalaluddindyah lll berfoto bersama Datu Ranga Abdullah Lalu Intan Dewa Rumah Bicara Bima berdiri


3) Tata pemerintahan kesultanan Bima: klik


4) Daftar Raja

1620-1640: Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I, menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang, dan merupakan adik ipar dari Sultan Alauddin Raja Gowa ke 14. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima II).

1640-1682: Sultan Abil Khair Siradjuddin (Sultan Bima ke-2); menikah pada tanggal 13 April 1646 dengan Karaeng Bonto Je’ne, yang merupakan adik kandung Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke 16. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima III) pada tahun 1651.

1682-1687: Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-3,) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo. Dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-4).

1687-1696: Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-4) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei. Dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke-5).

1696-1731: Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke-5), menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate’ne, pada tanggal 12 september 1704. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke-6).

1731-1747: Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke-6), menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. Dari pernikahan ini melahirkan Kumala ‘Bumi Pertiga dan Abdul Kadim, sementara Sultan Abdul Kadim lahir pada tahun 1729. yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima VII pada tahun 1747. Ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala ‘Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan Gowa pada tahun 1747, dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa II.

1747-1751: Kumala Syah (Kumala ‘Bumi Partiga). Disini, Sultan Abdul Kadim baru berumur 13 tahun, maka belum dapat menjabat secara aktif, sehingga jabatan kesultanan Bima dibantu sementara oleh Kumala ‘Bumi Pertiga (Kumala Syah) antara tahun 1747-1751 sambil menunggu usia Sultan Abdul Kadimdipandang pantas menjadi Sultan secara aktif. Sultan Abdul Kadim dinobatkan kembali sebagai Sultan Bima ke-8 pada tahun 1751.

1751-1773: Sultan Abdul Kadim (Sultan Bima ke-8), dari pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (La Hami) pada tahun 1762 dan Sultan Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke-9 pada tahun 1773.

1773-1817: Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke-9), dari pernikahannya melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. Ketika sultan Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun 1817 Sultan Ismail telah diangkat menjadi Sultan Bima ke-10.

1817-1854: Sultan Ismail (Sultan Bima ke-10) dari pernikahannya melahirkan sultan Abdullah pada tahun 1827. Sultan Abdullah diangkat menjadi Sultan Bima ke-11 pada tahun 1854.

1854-1868: Sultan Abdullah (Sultan Bima ke-11), menikah dengan Sitti Saleha ‘Bumi Partiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abdul Aziz dan Sultan Ibrahim. Sultan Abdul Azis diangkat menjadi Sultan Bima ke-12 pada tahun 1868.

1868-1881: Sultan Abdul Azis (Sultan Bima ke-12). Sultan Abdul Azis berhalangan, maka digantikan oleh saudaranya, yaitu Sultan Ibrahim, sehingga Sultan Ibrahim diangkat menjadi Sultan Bima ke-13 pada tahun 1881.

1881-1915: Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke-13), dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke-14 pada tahun 1915.

1915-1951: Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke-14), dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka’u Kahi). Abdul Kahir II dinobatkan sebagai Jena Teke (Sultan Muda) pada tahun 1943, kemudian dinobatkan sebagai Sultan Bima ke-15 setelah beliau wafat yaitu pada tahun 2002.

Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1920-1943)

Kesultanan Bima - Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1920-1943)

1945-2001:  Sultan Abdul Kahir II (Sultan Bima ke-15), yang biasa dipanggil Putra Kahirmenikah dengan Putri dari Keturunan Raja Banten, dan dari pernikahannya melahirkan Fery Zulkarnaen. Sultan Abdul wafat 2001.

juli 2013 – des. 2013: Sultan Zulkarnain H. Ferry. Sultan Bima ke-16. Wafat desember 2013.

18 sept. 2016: Muhammad Putera Ferryandi, dilantik sebagai Jena Teke atau Sultan Muda ke-17 Kesultanan Bima. Putera pertama almarhum Sultan Bima ke-16, Ferry Zulkarnain.

– Sumber:  https://www.facebook.com/groups/sejarahsulawesi/permalink/3470818759600764/

Sultan Ibrahim, Sultan Bima ke-13; memerintah 1881-1915

Gerelateerde afbeelding


5) Mahkota kesultanan Bima

Salah satu peninggalan yang berharga dari Kerajaan dan Kesultanan Bima adalah Mahkota kerajaan yang terbuat dari lapisan Emas dan Berlian. Dibuat pada abat ke 18 pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah Dzifullah Fil Alam (1773 – 1817 M). Sultan Bima ke-9. Dan salah satu ciri dan karakteristik emas dalam lapisan Mahkota itu adalah berwarna merah dan tidak sama dengan emas pada umumnya. Sedangkan Berlian yang kelap kelip dalam mahkota itu merupakan berlian termahal di dunia yang lebih tinggi nilainya dari berlian Inggris. Sebelumnya memang sudah ada Mahkota kerajan yang dibuat pada masa sebelum Sultan Abdul Hamid yang terbuat dari perak.
– Sumber: https://alanmalingi.wordpress.com/2010/03/26/mahkota-kerajaan-bima/

Afbeeldingsresultaat voor mahkota kesultanan bima


6) Penjelasan pelantikan sultan Bima

Untuk lihat penjelasan raja Bima, klik di sini


7) Nama nama gelar dan pangkat dalam sistem pemerintahan kesultanan Bima

Untuk lihat nama nama gelar dan pangkat, klik di sini

Makam Sultan Bima ke 2, 3 dan 4


8) Istana / Palaces

Ada 5 istana.

1) Istana Asi Mbojo

Istana Kesultanan Bima atau Asi Mbojo yang dibangun dari tahun 1927 hingga selesai 1930 ini, di rancang oleh arsitek kelahiran Ambon yang bernama Rehatta yang di buang oleh Belanda ke Bima, dan di bantu oleh Bumi Jaro bersama masyarakat, Istana Asi mempunyai makna yaitu tempat mengeluarkan (Asi bahasa Bima berarti mengeluarkan) segala titah dan kebijakan Kesultanan.
* Foto  Istana (Museum) Asi Mbojo, kesultanan Bima: link

Istana Asi Mbojo - Kesultanan Bima2)  Istana Asi Bou

Dinamakan ASI BOU karena didirikan belakangan setelah pendirian Istana Bima pada tahun 1927, tepatnya pada masa Pemerintahan Sultan Ibrahim (1881 – 1936). ASI BOU Dibangun untuk putera Mahkota Muhammad Salahuddin. Namun setelah dinobatkan menjadi sultan, Muhammad Salahuddin memilih tinggal di Istana lama. Akhirnya ASI BOU ini ditempati oleh adiknya Haji Abdul Azis atau yang dikenal dengan nama Ruma Haji.Bangunan ini menghadap ke arah utara dengan panjang sekitar 16 Meter dan lebar 8 meter. Terdiri dari Sancaka Tando (Emperan Depan ) yang berfungsi sebagai ruang tamu. Ada juga beberapa kamar tidur sultan dan keluarganya. Kemudian dibelakangnya terdapat Sancaka Kontu (Serambi Belakang )berfungsi sebagai dapur. Atapnya terbuat dari genteng pilihan.Asi Bou merupakan salah satu benda cagar budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Cagar budaya dan juga telah tertuang dalam Monumenter Ordonantie stbl, 238 Tahun 1931 pasal 1 ayat 1 a. Pemugaran bangunan ini baru dilakukan pada tahun 1998 oleh Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Istana Asi Bou3) Istana Asi Pota

Asi Pota berada di wilayah Pota Manggarai. Istana ini ditempati oleh para Naib Sultan Bima atau perwakilan Raja Bima yang ada di Manggarai dan sekitarnya. Biasanya yang diangkat sebagai Naib adalah putera Sultan dan keluarga atau kerabat Raja. Diperkirakan pembangunan Asi Pota adalah pada saat ekspansi wilayah kerajaan Bima sejak abad 15. Foto di bawah ini adalah foto perwakilan kerajaan Bima bersama para pembesarnya di Manggarai. Disamping jejak istana, jejak bahasa juga masih sangat kuat di wilayah Manggarai dan sekitarnya, Bahasa Bima (Nggahi Mbojo) menjadi bahasa kedua di wilayah ini hingga sekarang.

Asi Pota4) Istana Asi Kalende

Meskipun kondisinya memprihatinkan, namun Asi Kalende juga merupakan bukti jejak kerajaan dan kesultanan Bima. Asi Kalende diperkirakan Istana tua yang dibangun dan ditempati oleh Ruma Bicara (Perdana Menteri). Asi Kalende berbahan kayu tapi berbentuk Uma Pa’a (pahat). Asi Kalende berada di Kelurahan Pane, tidak jauh dari kompleka Pemakaman Bata, Raja Bicara, dan diapit oleh jalan Datuk Dibanta dan jalan Patimura. Menurut Fahru Rizki, Asi Kalende mulai disebutkan dalam hikayat Sang Bima tentang Silsilah Raja (madoho Asi Kalindi) diperkirakan abad 15. Asi Kalende dibangun pada masa Ruma Bicara Abdul Nabi.  Menurut peneliti budaya Muhammad Adlin Sila, Keberadaan Asi Kalende terkait dengan Bicara Quraish. Bicara atau Mangkubumi ini berkuasa di zaman Sultan Ibrahim. Bicara Quraish bertempat tinggal di Asi Kalende sedangkan Sultan Ibrahim di Asi Mbojo. Konon, Asi Kalende, istana Bicara, diyakini sebagai istana pertama. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan patung Naga yang terbuat dari kayu dan masih terpasang di ujung atap teras istana.

Asi Kalende

Asi Kalende sekarang (untuk lengkap, lihat: Asi Kalende)

5) Asi Mpasa

Asi Mpasa terletak di wilayah Raba yang sekarang menjadi Gedung DPRD Kota Bima. Asi Mpasa lebih tua daripada Asi Mbojo. Asi Mpasa merupakan tempat tinggal Sultan Ibrahim.
* Foto foto Istana Asi Mpasa: link

Asi Mpasa

Sumber 5 istana kesultanan Bima: http://alan-malingi.blogspot.co.id/2016/03/negeri-5-istana.html


9) SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN DI P. SUMBAWA

Untuk sejarah kerajaan-kerajaan di P.Sumbawa, klik di sini

Kerajaan-kerajaan di pulau Sumbawa, 1550 M

Sumbawa, 1550 M


10) Peta kuno pulau Sumbawa (Cambaua)

Klik di sini untuk peta pulau Sumbawa tahun 1598, 1606 Sumbawa / Nusantara, 1614, 1615, 1697 Sumbawa / Nusantara 1800-an, 1856, 1856, 1910.

Pulau Sumbawa 1615


11) Sumber kesultanan Bima

– Sejarah kesultanan Bima: https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bima
– Sejarah kesultanan Bima: https://www.kompas.com/stori/
– Sejarah kesultanan Bima: https://daihatsu.co.id/
Daftar Sultan Bima: link
5 Istana kesultanan Bima: http://alan-malingi.blogspot.co.id/2016/03/negeri-5-istana.html

3 Comments

3 thoughts on “Bima, kesultanan / P. Sumbawa – Prov. Nusa Tenggara Barat

  1. Of course before you also had Tambora and Papekat.Sanggar was united ca. 1921 with Bima.The dynasty are still seen by the Sanggar people as their rajas.

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.